Kamis, 21 Juni 2012

KITA SEMUA BERPOTENSI GILA



Gila atau yang dikenal dalam istilah kedokteran skizofrenia, adalah sebuah penyakit kejiwaan yang dapat menimpa siapa pun. skizofrenia adalah salah satu gangguan/penyakit kejiwaan yang paling kompleks dan menantang. Sebuah gangguan yang bersifat heterogen atau merupakan perbauran antara pikiran-pikiran aneh, delusi, halusinasi, pengaruh-pengaruh yang tidak pantas dan gangguan fungsi. Berbagai perkembangan ilmiah telah banyak membantu kita mengetahui tentang fisiologi sistem syaraf pusat (SSP), patofisiologi, dan genetika yang diharapkan akan membantu kita untuk lebih memahami fenomena skizofrenia ini dimasa depan.

Skizofrenia sebagai gangguan kejiwaan dikarakteristik dengan adanya gangguan proses berfikir yang direspon dengan emosional yang buruk. Manivestasi klinik yang paling umum diantaranya:
  1. Halusinasi pendengaran
  2. Delusi paranoid (perilaku yang aneh)
  3. Proses berfikir dan bicara yang tak teratur
  4. Disfungsi sosial atau pekerjaan yang signifikan

Epidemiologi

Menurut Epidemiologic Catchment Area Study, Amerika serikat, prevalensi setiap manusia berpotensi mengalami skizofrenia sekitar 0,6-1,9%. Hanya dengan beberapa pengecualian, prevalensi penyakit ini hampir sama disemua negara didunia. Skizofrenia umumnya mulai timbul pada masa remaja akhir atau dewasa awal dan jarang terjadi pada remaja atau dengan usia lebih dari 40 tahun. Prevalensi pada pria dan wanita juga sebanding, namun onset (mulai timbulnya penyakit) umumnya lebih awal pada pria. Onset pada pria biasanya terjadi pada awal usia 20an, sedangkan pada wanita terjadi pada usia 20an akhir menjelang 30an.

Etiologi

Etiologi skizofrenia tidak diketahui secara pasti. Namun penelitian menunjukan adanya kelainan struktur dan fungsi otak pada penderita skizofrenia, namun perubahan ini tidak konsisten pada semua penderita. Skizofrenia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, kelainan patofisiologis diduga memainkan peranan penting dalam penentuan fenotip klinis yang berbeda-beda pada skizofrenia.

Sebuah model neurodevelopmental dikembangkan untuk mempelajari etiologi penyakit ini. Model ini menjelaskan bahwa skizofrenia berkembang sejak dalam rahim/kandungan dengan mekanisme yang belum diketahui, kemungkina proses ini berlangsung pada masa trimester kedua kehamilan, yang dibuktikan dengan adanya migrasi sel syaraf abnormal (Lesi skizofrenia). Lesi tersebut mengakibatkan abnormalitas permukaan sel, posisi sel, simetrisitas, koneksitas, dan pada akhirnya mengakibatkan abnormalitas fungsinya. Beberapa penelitian lain menengarai adanya:
  1. Keterkaitan antara infeksi saluran nafas atas pada trimester kedua kehamilan dengan skizofrenia
  2. Komplikasi obstetri dan hipoksia neonatal juga diduga berhubungan dengan etiologi skizofrenia
  3. Beberapa penelitian juga mengaitkan bobot lahir yang rendah (<2500 mg) kemungkinan juga berpengaruh pada skizofrenia
Penelitian juga menunjukan adanya penurunan ketebalan korteks dan peningkatan ukuran ventrikel pada otak sebagian besar penderita skizofrenia yang terjadi karena adanya gliosis. Gliosis adalah proliferasi sel glial sebagai kompensasi adanya perubahan pada penyakit degeneratif otak. 

Sejumlah penelitian menunjukan bahwa abnormalitas neuropsikologikal yang terjadi sejak usia 4 tahun kemungkinan besar akan berkembang menjadi skizofrenia. Penurunan pencapaian fungsi motorik normal dan gerakan abnormal pada anak usia 8 bulan kemungkinan juga berhubungan dengan kejadian skizofrenia. Temuan-temuan tersebut menunjukan kelainan fungsi otak terjadi jauh hari sebelum onset skizofrenia tersebut terjadi. 

Meskipun kelainan spesifik belum diketahui, namun bukti-bukti tersebut jelas mengindikasikan peranan genetik dalam perkembangan skizofrenia. Meskipun resiko skizofrenia pada setiap orang hanya sebesar 0,6-1,9%, namun resiko ini meningkat menjadi 10% pada setiap orang yang memiliki saudara tingkat pertama dengan skizofrenia, dan 3% pada seseorang yang memiliki saudara tingkat 2 dengan skizofrenia. Kedua orang tua yang memiliki skizofrenia, maka kemungkinannya 40% melahirkan anak-anak yang juga mengalami skizofrenia. Sedangkan pada studi skizofrenia pada bayi kembar, resiko skizofrenia pada kembar dizigotik masing-masing adalah 12% dan 14%, dan 48% pada bayi kembar monozigot. Resiko ini ditentukan oleh orang tua biologisnya, dan perubahan lingkungan selama perawatan anak ini tidak mengubah keadaan tersebut. 

Patofisiologi

Pemeriksaan dengan Computed Axial Tomography (CAT) Scans dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukan peningkatan ukuran ventrikel, khususnya dalam ventrikel ketiga dan ventrikel lateral dalam subtipe skizofrenia. Disamping itu juga terjadi penurunan ukuran otak. Penurunan ukuran otak ini ditunjukan dengan asimetri otak, pembesaran ventrikel temporal kiri dan penurunan ukuran kortikal yang jelas pada lobus temporal kiri. Dibandingkan dengan penurunan jumlah neuron didaerah otak, penurunan komunikasi aksonal dan dendritik antara sel dapat mengakibatkan hilangnya konektivitas yang penting dalam hal adaptivitas neuronal dan homeostasis SSP.

Perubahan Neurotransmiter

Setelah ditemukannya peran dopamin (DA) sebagai neurotransmiter pada tahun 1958, dan pengamatan bahwa obat antipsikotik adalah senyawa antagonis reseptor dopamin pascasinaps, maka dikembangkanlah hipotesis dopaminergik dalam patofisiologi skizofrenia. Hipotesis ini lebih berorientasi pada pengobatan psikotik dengan antipsikotik.

Ada 4 saluran dopaminergik yang berperan menguraikan asal, persyarafan, dan aktivitas fungsional utama dari masing-masing saluran serta efek dopaminergiknya. 4 saluran dopaminergik tersebut adalah:
  1. Nigrostriatal, yang berasal dari substansia nigra (area A9) dan berfungsi pada sistem ekstrapiramidal dan peregrakan
  2. Mesolimbik, yang berasal dari tagmentum ventral otak tengah (area A10), yang berfungsi dalam pengaturan gairah, memori, pengolahan stimulus dan motivasi perilaku.
  3. Mesokortikal, yang berasal dari tagmentum ventral otak tengah (area A10), yang berfungsi dalam pengaturan fungsi kognisi, komunikasi, sosial dan respon terhadap stres
  4. Tuberoinfundibular, berasal dari hipothalamus dan berfungsi dalam pengaturan pelepasan prolaktin.
Penderita skizofrenia ditengarai mengalami cacat pada reseptor dopamin. Penelitian dengan Positron emission tomography (PET) menunjukan adanya kelainan otak regional, termasuk peningkatan metabolisme glukosa dalam inti kaudata, dan penurunan aliran darah dan metabolisme glukosa pada lobus frontal dan lobus temporal kiri. Hal ini menunjukan adanya hiperaktivitas dopaminergik pada inti kaudata dan hipofungsi dopaminergik pada daerah frontotemporal. Studi PET dengan menggunakan ligan spesifik D2 menunjukan peningkatan kepadatan reseptor D2 pada inti kaudata dan penurunan kepadatan pada korteks. Penelitian PET ini juga menunjukan bahwa sub-populasi skizofrenia mungkin mengalami penurunan kepadatan reseptor D1 dalam inti kaudata dan korteks prefrontal. Hipofrontalitas mungkin berhubungan dengan kurangnya kemauan, salah satu gejala negatif pada skizofrenia. Gejala-gejala positif mungkin lebih berhubungan dengan hiperaktivitas reseptor dopamin pada mesokaudata, sedangkan gejala negatif berhubungan dengan hipofungsi reseptor dopamin pada korteks prefrontal. Reseptor D1 presinaptik di korteks prefrontal diduga terlibat dalam aktivitas glutamatergik yang mungkin berperan pada kekacauan memori seorang penderita skizofrenia.

Disfungsi glutamatergik juga berperan dalam etiologi skizofrenia. Sistem glutamatergik adalah sistem yang paling luas dalam merangsang sistem neurotransmitter diotak. Perubahan fungsi, baik hipo- maupun hiperaktivitas dapat menyebabkan keracunan neuronal. Persyarafan dopaminergik dari striatum ventral menurunkan aktivitas penghambatan aktivitas sistem limbik, dengan demikian dopaminergik menstimulasi gairah. 

Reseptor seretonergik yang hadir pada akson dopaminergik akan memberikan stimulus berupa penurunan pelapasan dopamin terutama dari striatum. Persebaran neuron serotonergik mirip dengan dopaminergik sehingga memungkinkan kedua sistem neurotransmiter ini untuk mempersyarafi daerah yang sama. Reseptor 5-hidroksitriptamin2 (serotonin2, 5-HT2) dan reseptor D4 ditemukan pada korteks. Pasien skizofrenia dengan hasil scan otak abnormal yang luas memiliki konsentrasi 5-HT dalam darah yang tinggi. Tingginya konsentrasi tersebut berhubungan dengan pembesaran ukuran ventrikel.

Patofisiologi primer pada skizofrenia adalah adanya abnormalitas salah satu atau beberapa neurotransmiter (baik dopaminergik, glutamatergik ataupun serotonergik), dan perubahan sejumalah neurotransmiter lainnya sebagai patofisiologi sekundernya. 

Skizofrenia adalah ganggauan kejiwaan yang kompleks dan melibatkan beberapa etiologi. Penelitian molekular yang melibatkan determinasi genetik menunjukan adanya perubahan pada protein G, metabolisme protein, dan proses subseluler lainnya yang mungkin untuk mengidentifikasi gangguan biologis terkait skizofrenia.

Presentasi Klinis

Kriteria diagnostik skizofrenia adalah:
  1. Adanya 2 atau lebih karakteristik gejala bertahan minimal dalam jangka waktu 1 bulan. karakteristik gejala tersebut adalah delusi, halusinasi, bicara tak beraturan, berperilaku sangat tidak teratur atau berberilaku katatonik, dan adanya gejala-gejala negatif. Gejala delusi aneh atau halusinasi yang mengandung kata-kata seperti dalam sebuah percakapan cukup mengindikasikan gejala skizofrenia.
  2. Disfungsi sosial/kerja. Pekerjaan, hubungan interpersonal, dan perawatan diri yang jauh dibawah tingkat biasanya sebelum onset skizofrenia.
  3. Durasi, tanda-tanda gangguan terus menerus selama minimal 6 bulan, yang dilengkapi dengan sekurang-kurangnya 1 bulan kriteria gejala 1 (kecuali bila dilakukan terapi).
  4. Skizoafektif atau gangguan mood
  5. Adanya gangguan yang bukan gangguan medis atau akibat penggunaan obat-obatan tertentu.
  6. Jika ada riwayat skizofrenia dan ditengarai kambuh, maka harus disertai delusi atau halusinasi selama sekurang-kurangnya 1 bulan.
Gejala-gejala (symptom) skizofrenia dikelompokan dalam 3 kelompok, yaitu gejala positif, negatif dan kognitif.
Gejala positif:
  1. Kecurigaan
  2. Pemikiran yang tidak biasa (termasuk delusi)
  3. Halusinasi
  4. Pemikiran yang tak beraturan
Gejala Negatif:
  1. Pemerataan afektif
  2. Alogia
  3. Anhedonia
  4. Avolition
Gejala kognitif:
  1. Gangguan perhatian
  2. Gangguan fungsi kerja memori
  3. Gangguan fungsi eksekutif
TERAPI

Tujuan Terapi
Farmakoterapi merupakan pengobatan utama dalam skizofrenia, karena tak mungkin pasien mendapatkan rehabilitasi psikososial yang efektif tanpa didampingi dengan terapi antipsikotik. Tujuan akhir yang jelas dari terapi skizofrenia ini harus ditegaskan pada awal mula terapi. Kerusakan fungsi psikososial pada penderita skizofrenia yang terbesar terjadi pada 5 tahun pertama episode skizofrenia dimulai, maka pada periode ini intervensi dengan antipsikotik harus dioptimalkan. Hal lain yang harus sangat diperhatikan dalam terapi ini adalah menghindarkan pasien dari resiko efek samping yang tidak diinginkan dengan menggunakan dosis efektif minimum, menekankan waktu yang cukup sebagai variabel utama guna tercapainya tujuan terapi, dan membatasi penggunaan obat yang nonresponsif terhadap pasien.

Secara umum pendekatan terapi skizofrenia adalah:
  1. Pengobatan dengan antipsikotik (terapi farmakologis)
  2. Terapi dukungan individual
  3. Terapi kognitif dan psikososial
  4. Dukungan dan psikoedukasi dari keluarga
  5. Dukungan sosial
  6. Manajemen kasus
  7. Dukungan keuangan
  8. Dukungan ketrampilan khusus
  9. Perumahan

Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis skizofrenia adalah suatu program rehabilitasi psikososial yang berorientasi pada peningkatan fungsi adaptif pasien. Program-program ini meliputi:
  1. Ketrampilan hidup dasar
  2. Pelatihan ketrampilan sosial
  3. Pendidikan dasar
  4. Program kerja
  5. Perumahan
Program yang ditujukan untuk pekerjaan dan perumahan dianggap sebagai intervensi yang lebih efektif bagi pasien skizofrenia yang serius. Program perawatan yang melibatkan keluarga juga dianggap efektif menurunkan lamanya perawatan di rumah sakit dan meningkatkan kemampuan sosial pasien dimasyarakat. 

Secara umum pendekatan terapi nonfarmakologis bagi pasien skizofrenia dapat dilakukan secara individual, maupun berkelompok dan dengan terapi perilaku kognitif. Terapi individual dilakukan dengan:
  1. Dukungan dan konseling
  2. Terapi personal
  3. Terapi ketrampilan sosial
  4. Pendidikan/pelatihan khusus untuk terapi rehabilitasi pekerjaan
Terapi secara berkelompok yaitu dengan interaksi sosial, dan terapi perilaku kognitif serta terapi kepatuhan.

TERAPI FARMAKOLOGIS

Penilaian Sebelum Terapi Dimulai
Penilaian awal atas kondisi medis dan psikologis pasien yang diperlukan untuk menjamin ketepatan diagnosa pasien tersebut terutama pada pasien dengan status psikosis akut. Pengujian status mental, pengujian fisik dan neurologik, serta riwayat keluarga dan sosial, dan pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi kemungkinan adanya konsumsi obat-obatan yang menginduksi psikosis tersebut. Serangkaian pemeriksaan tersebut tidak hanya berguna untuk mengidentifikasi adanya kemungkinan patologi tertentu, namun juga berguna dalam menentukan terapi yang tepat sehubungan dengan potensi efek sampingnya. Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah tanda-tanda vital, hitung darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrokardiogram (EKG), glukosa serum puasa, lipid serum, fungsi tiroid, dan urinalisis.

Agen-agen Antipsikosis

Second-Generation Antipsychotics (SGA)
Obat-obat yang termasuk dalam golongan antipsikotik generasi kedua ini adalah aripiprazole, klozapin (clozapine), olanzapine, quetiapine, risperidone, dan ziprazidone. Semua SGA kecuali klozapin menjadi agen pilihan pertama untuk terapi skizofrenia. SGA dinilai hanya sedikit atau hampir tak memberikan efek samping  ekstrapiramidal (EPS). Selain itu SGA juga dinilai lebih efektif terutama dalam mengatasi gejala negatif dan kognitif serta tidak adanya efek tardive dyskinesia, dan kurangnya efek terhadap prolaktin serum. Meskipun profil efek samping dari SGA ini belum diketahui secara pasti, namun SGA dianggap lebih efektif  dalam pengobatan gejala negatif, kognitif, mood, maupun psikopatologi umum dibandingkan dengan FGA (First-Generation Antipsychotics). Tolerabilitas SGA juga lebih baik dibanding FGA. Para ahli kejiwaan mempercayai penggunaan SGA pada 5 tahun pertama sejak dimulai onset skizofrenia akan sangat membantu mencegah berbagai kerugian dan perkembangan penyakit yang lebih parah, dan tentu saja harus didampingi dengan rehabilitasi psikososial yang efektif untuk memperoleh hasil yang maksimum.

Risperidon memenuhi kriteria sebagai antipsikotik atipikal yang hanya sedikit memberikan efek samping ekstrapiramidal pada dosis rendah hingga sedang. Dosis optimal biasanya berkisar antara 4-6 mg perhari. Sedangkan pada dosis lebih dari 6 mg perhari profil risperidon lebih menyerupai FGA, karena tampaknya risperidon kehilangan profil atipikalnya pada dosis diatas 6 mg perhari. Sehingga pengobatan dengan dosis serendah mungkin perlu dilakukan dalam pengobatan skizofrenia dengan obat ini. Titrasi dosis kebawah juga tampaknya perlu dilakukan jika pasien tidak merespon pada awal pengobatannya. 

Olanzapine sangat jarang memberikan efek EPS jika digunakan pada dosis harian antara 10-20 mg perhari. Dan disarankan untuk membatasi dosisnya dibawah 20 mg perhari. Quetiapine berkhasiat sebagai antipsikotik dengan profil EPS yang jelas. Meskipun bertentangan dengan hasil studi efikasinya, dosis 500 mg sering digunakan untuk mencapai efek yang optimal dengan titrasi dosis hingga 800 mg perhari.

Ziprazidone 40-160 mg perhari tampaknya memiliki kemanjuran yang serupa dengan SGA lainnya, dengan tingkat respon meningkat pada dosis diatas 80 mg perhari. Aripiprazole efektif pada dosis 15-30 mg perhari.  Baik ziprazidone maupun aripiprazole memiliki potensi yang rendah terhadap efek kenaikan berat badan dibandingkan dengan SGA lainnya.

First-Generation Antipsychotics (FGA) atau Antipsikotik Tipikal
Termasuk dalam kelompok antipsikotik FGA ini antara lain klorpromazin, flufenazin, haloperidol, loksapin, molindon, mesoridazin, perfenazin, thioridazin, thiothiksen, dan trifluoperazin. Karena efek EPS yang dihasilkannya, khususnya tardive dyskinesia maka FGA tidak dapat dijadikan sebagai terapi lini pertama pada penanganan psikosis. Efek khasiat semua FGA adalah sama jika digunakan pada dosis equipotensinya.  Penggunaan dan pemilihan obat ini harus didasarkan pada kebutuhan untuk menghindari efek sampingnya. Obat dengan potensi tinggi seperti haloperidol cocok digunakan pada kondisi agitasi akut, sedangkan FGA dengan potensi sedasi tinggi seperti klorpromazin dapat digunakan pada saat pasien harus segera ditenangkan.



Sumber:
Pharmacotheraphy-Dipiro